• slide7
  • slide-idw1
  • slide-idw2
  • slide-idw3
  • slide-idw4

“Membangun Kesejahteraan Masyarakat Indonesia”

Mengabdi Pada Masyarakat dengan Start-Up: Sebuah Tawaran Kepada Dosen-Dosen Ilmu Sosial-Humaniora Kita

Dendi Raditya Atmosuwito

*Associate Reseearcher di Institute for Democracy and Welfarerism (IDW)

Sesuai dengan pasal 20 yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perguruan tinggi berkewajiban menyelengarakan penelitian dan pengabdian masyarakat disamping melaksanakan kegiatan pendidikan. Pasal 45 yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi kemudian merinci yang dimaksud dengan penelitian ditunjukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa. Sedangkan pengabdian masyarakat dalam pasal tersebut didefinisikan sebagai kegiatan sivitas akademika dalam mengamalkan dan membudayakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai bagian dari perguruan tinggi tentu saja para dosen juga berkewajiban untuk melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, tak terkecuali dosen-dosen dari klaster keilmuan sosial-humaniora. Sedikit berbeda dengan kolega mereka dari klaster keilmuan sains dan teknologi, agro, serta medika, dosen-dosen dari klaster keilmuan sosial-humaniora menghadapi satu tantangan “khas” yaitu anggapan bahwa ilmu sosial-humaniora tidak bermanfaat bagi masyarakat. Ironis memang mengingat ilmu sosial-humaniora sendiri mengkaji tentang masyarakat. Anggapan bahwa ilmu sosial-humaniora tidak bermanfaat bagi masyarakat bahkan tak jarang terdengar dari ucapan mahasiswa-mahasiswa yang belajar ilmu sosial-humaniora sendiri.

Penyebab Ilmu Sosial-Humaniora Dianggap Tidak Berguna

Tentu anggapan seperti itu ada sebabnya. Menurut penulis sendiri ada dua sebab besar munculnya anggapan bahwa ilmu sosial-humaniora tidak berguna yaitu sebab eksternal dan sebab internal. Sebab eksternal yang pertama adalah masuknya kekuatan pasar global yang begitu kuat ke dalam perguruan-perguruan tinggi di Indonesia pasca penandatanganan GATS yang diinisiasi WTO. Kekuatan pasar tersebut kemudian mendefinisikan mana yang “bermanfaat” dan “tidak bermanfaat”. Dan kita sama-sama tahu bahwa banyak hal yang bermanfaat bagi pasar adalah hal-hal yang bersifat fisik dan bisa diukur secara jelas dengan angka. Sesuatu yang “sulit” dihasilkan oleh ilmu sosial-humaniora.

Sebab eksternal kedua adalah kekuasaan negara yang mencengkeram ilmu sosial-humaniora di Indonesia. Menurut Hadiz dan Dhakidae (2006) apa yang terjadi dengan perkembangan ilmu sosial di Indonesia dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kekuasaan negara pada masa Orde Baru (1966-1998). Pada masa itu keterkaitan antara ilmu sosial dan kekuasaan terlihat sangat jelas. Rezim Orde Baru juga merekayasa sedemikian rupa perkembangan ilmu sosial di Indonesia agar sesuai dengan kebutuhan kekuasaan (Dhakidae, 2003). Konsekuensi logis dari keterlibatan sistematis kekuasaan negara Orde Baru dalam rekayasa perkembangan ilmu sosial di Indonesia pada masa itu adalah terbentuknya orientasi pengajaran, pendidikan, dan kegiatan penelitian yang sangat developmentalis (Nugroho, 2006).

Pasca runtuhnya Orde Baru ternyata kekuasaan negara yang mencengkeram ilmu sosial-humaniora di Indonesia tersebut masih ada meskipun sudah tak sekuat ketika masa Orde Baru. Kekuasaan negara (sebagaimana kekuasaan pasar) kemudian mendefinisikan mana yang “bermanfaat” dan “tidak bermanfaat”. Dan kita sama-sama tahu bahwa hal-hal yang bermanfaat bagi negara adalah hal-hal yang bisa melanggengkan kekuasaan negara atau dengan kata lain jangan sampai kritis terhadap negara. Padahal wacana kritis adalah salah satu aspek utama dalam ilmu sosial.

Sedangkan dari internal kalangan ilmu sosial-humaniora di Indonesia sendiri ada dua sebab internal kenapa muncul anggapan bahwa ilmu sosial-humaniora tidak bermafaat. Sebab internal pertama adalah positivisme (yang mencoba meniru ilmu-ilmu alam) yang diterapkan secara ekstrim dalam ilmu sosial-humaniora di Indonesia sendiri. Akibat dari postivisme ekstrim tersebut adalah munculnya pemisahan antara teori dan praksis karena dalam postivisme para pengkaji sosial harus terpisah dari hal-hal sosial yang dikajinya untuk menghindari “subjektivitas” sehingga kajiannya bisa “objektif” dan “empiris”. Implikasi leboh lanjutnya tentu saja perguruan tinggi dan para pengkaji sosial-humaniora (dosen dan mahasiswa) di dalamnya menjadi terpisah jauh dari masyarakat yang dikajinya sehingga muncul kesan eksklusif dan elitis.

Sebab eksternal kedua adalah orientalisme yang membawa asumsi-asumsi ilmu sosial dari Barat ke Indonesia. Pemikiran ilmuwan sosial-humaniora di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, selalu saja terbelenggu karena takut dianggap menyeleweng dari prosedur-prosedur ilmiah khas Barat. Akibatnya, sekaligus dampak yang kedua, berbagai macam kajian ilmu sosial terasa tidak bermanfaat ketika diterapkan pada masyarakat di negaranya sendiri. Kajian ilmu sosial-humaniora sering terasa asing dengan nilai-nilai lokal. Cara pandang yang ditawarkan terkadang terkesan dipaksakan serta tidak bisa memahami secara utuh terhadap suatu permasalahan yang muncul.

Yang Bisa Dilakukan

Lantas apa yang bisa dilakukan? Yang pertama penulis tawarkan adalah agar para pengkaji ilmu sosial-humaniora (dosen dan mahasiswa) memikirkan ulang bahwa ilmu sosial-humaniora adalah juga tentang “penemuan sosial”. Penemuan sosial penulis artikan sebagai inovasi-inovasi yang sifatnya non-fisik dan bermanfaat kepada masyarakat. John Maynard Keynes mungkin tidak membantu banyak orang yang kehilangan pekerjaan saat Depresi Besar melanda Amerika Serikat dan sebagain besar dunia pada tahun 1930-an secara langsung, tetapi penemuan sosialnya membantu mengeluarkan dunia dari kondisi itu.

Max Weber mungkin tidak pernah memberikan pelayanan publik kepada banyak orang, namun penemuan sosialnya tentang birokrasi yang sekarang membuat pelayanan publik dapat berjalan lebih teratur. Penemuan sosial YB Mangunwijaya (Romo Mangun) tentang pengorganisasian masyarakat di tepi Kali Code jugalah yang membuat kampung tersebut berhasil bertahan dari pengusuran. Oleh karena itu, para dosen ilmu sosial-humaniora di Indonesia harus segera melepas belenggu postivisme dan orientalisme agar bisa menemukan penemuan sosial yang berguna dan dapat diterima oleh masyarakat di Indonesia.

Lalu setelah berhasil menemukan penemuan sosial para pengkaji ilmu sosial-humaniora harus bisa memanfaatkan pasar bukan dimanfaatkan pasar seperti sebelumnya. Salah satu caranya adalah membuat start-up dari penemuan sosial yang sudah berhasil ditemukan. Start-up yang berasal dari penemuan sosial para dosen ilmu sosial-humaniora ini harus berbeda dari start-up lain. Kalau start-up lain dikendalikan oleh teknologi, maka start-up dari penemuan sosial ini harus mengendalikan teknologi untuk kebermanfaatan bagi masyarakat.

Visi, komitmen sosial, serta wacana kritis dari start-up hasil penemuan sosial para dosen ilmu sosial-humaniora sangat penting dan harus selalu ada karena meskipun hadirnya gerakan-gerakan sosial gaya baru berbasis start-up berhasil membuat generasi muda khususnya mahasiswa tertarik untuk mengabdikan ilmu sosial-humanioranya dalam bentuk aktivisme sosial tetapi munculnya hal tersebut juga mengakibatkan banyak diantara mereka yang malah fokus untuk diliput media karena ingin dianggap sebagai founder gerakan ini atau gerakan itu dan malah melupakan pengabdian mereka kepada masyarakat.

Pendirian start-up hasil penemuan sosial para dosen ilmu sosial-humaniora ini juga jangan sampai mendikotomikan hal yang luarannya “abstrak” seperti diskusi dan kajian sebagai hal yang “tidak bermanfaat” sedangkan hal yang luarannya “konkrit” seperti pendirian start-up adalah hal yang “bermanfaat” seperti yang dilakukan oleh kekuatan pasar. Karena kita semua tahu bahwa yang “konkrit” (mendirikan start-up) hanya bisa dilakukan jika ada yang “abstrak” (diskusi dan kajian yang menghasilkan gagasan/penemuan sosial).

Lalu bagaimana dengan kekuasaan negara dan start-up hasil penemuan sosial para pengkaji ilmu sosial-humaniora ini? Seperti yang penulis utarakan sebelumnya bahwa start-up para dosen ilmu sosial-humaniora ini harus berbeda dengan start-up yang lain. Jika start-up yang lain sifatnya hanya filantropis atau pemberdayaan maka start-up para dosen ilmu sosial-humaniora ini harus meningkatkan kesadaran kritis masyarakat tentang kondisi struktural yang membuat mereka kesusahan dan hak mereka sebagai warga negara yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Benar bahwa menyalakan lilin (dalam konteks ini mendirikan start-up) lebih mulia dari mengutuk kegelapan (dalam konteks ini tidak berbuat apa-apa) tapi kita juga harus tahu kenapa di tempat kita belum juga dialiri listrik (dalam konteks ini tidak dipenuhinya hak warga negara oleh negara).

Akhir kata, kepada dosen-dosen ilmu sosial-humaniora di seluruh Indonesia, penulis ucapkan semangat mengabdi!!!

*Tulisan ini telah dimuat di harian Indoprogress pada 20 Juli 2018

TRAINING POLITIK : STRATEGI SUKSES MENUJU PARLEMEN

       

Poster Traning Politik : Strategi Sukses Menuju Parlemen

 Insitute for Democracy and Welfarism (IDW) merupakan lembaga riset dan konsultan profesional yang didirikan oleh para akademisi, peneliti, aktivis, praktisi, dan jurnalis yang mempunyai passion kuat di bidang sosial dan politik. IDW akan menyelenggarakan sebuah pelatihan politik   yang bertajuk “Strategi Sukses Menuju Parlemen” untuk para calon Legislatif dan tim suksesnya. Kegiatan ini bertujuan untuk  memfasilitasi para calon legislatif untuk mendapatkan stock of knowladge mengenai strategi memenangkan Pemilu 2019 dari para praktisi dan akademisi. Acara ini akan dilaksanakan pada 12 sampai 13 Mei 2018 di Hotel Grand Dafam (Hotel Bintang 5) Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

IDW melihat pemilihan umum di tahun 2019 berbeda dengan pemilihan umum 2014, ibarat sebuah pertempuran membutuhkan strategi dan taktik pemenangan yang updatable. Calon legislatif di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional perlu menyiapkan bekal berupa stock of knowladge mengenai stategi dan taktik untuk memenangkan pemilihan umum 2019.  Stock of knowladge   ini  yang akan menentukan kualitas dari strategi dan taktik pemenangan yang akan direncanakan. Akan ada empat materi utama yang menunjang Stock of knowladge menyusun stategi dan taktik menuju parlemen pada tahun 2019 nanti.

Materi pertama menghindar dari pelanggaran Pemilu, para calon legeslatif perlu memahami berbagai macam regulasi terbaru yang mengatur mekanisme pemilu 2019. Materi kedua pengamanan hasil Pemilu, yang akan berbicara terkait penataan dan pemberdayaan tim pemenangan dan saksi di TPS hingga pengawalan sampai dengan penetapan hasil Pemilu. Koordinasi ini dapat dimaksimalkan dan diefektifkan melalui berbagai cara. Materi ketiga Penghitungan batas suara perolehan kursi, materi ini akan mengulas secara komperhensif mengenai pengenalan pola-pola perhitungan perolehan kursi dan memaksimal hasil perhitungan suara calon. Kelebihan dan kekurangan masing-masing pola perhitungan perolehan kursi. Kemudian materi keempat mengenai strategi pemenangan yang akan menyajikan pemetaan perilaku pemilih untuk menentukan daerah pemilihan (dapil) paling potensial bagi calon. Mempopulerkan calon melalui berbagai media yang tersedia.

Pemilihan umum 2019 adalah pemilu serentak pertama antara pemilihan Presiden dan pemilihan anggota Legistalif  dalam sejarah demokrasi Indonesia. Teknikalitas pemilu juga terdapat beberapa perubahan diantaranya dalam penentuan perolehan kursi partai. Konsekuensi atas kondisi tersebut perlu dipahami dengan baik oleh mereka yang ingin menang pemilu. Oleh karena itu IDW akan memfsilitasi dengan pemateri yang memiliki kapasitas dan kapabilitas pengetahuan mengenai strategi pemenangan pemilu, seperti berikut :

  • Sigit Pamungkas : Komisioner KPU RI 2012-2017;
  • Bambang Eka Cahya : Komisisoner BANWASLU RI 2012 – 2017;
  • Dr. Wawan Mas’udi : Wakil Dekan FISIPOL UGM;
  • Retno Susanti, S.H. : Direktur YLBH Keadilan Semesta.

Adapun biaya registrasi untuk kegiatan ini sebesar Rp 8.000.000,-/Orang dan Rp 7.000.000,-/untuk grup yang terdiri dari 5 orang. Modal besar tanpa strategi dan taktik pemenangan yang baik tidak menjamin kemenangan. Sedangkan startegi dan taktik pemenangan yang  baik bisa menghasilkan kemenangan dengan modal finansial yang kecil.

Maka dari itu bagi anda yang akan bertarung di pemilihan umum 2019 segera daftarkan diri, dengan langkah sebagai berikut :

  1. Mengisi formulir online https://bit.ly/2I2Fdd2
  2. Panitia akan menghubungi calon peserta
  3. Melakukan pembayaran administrasi dengan metode transfer ke rekening Bank Mandiri 137-00-0569973-7 atas nama Institute for Democracy and Welfarism (IDW)
  4. Setelah menyelesaikan admisnistrasi, peserta akan mendapat LO (Liaison Officer) yang memandu peserta dari pra acara sampai acara selesai.

*Pelatihan akan dilaksanakan ketika peserta minimal berjumlah 10 orang

**Info lebih lanjut hubungi CP :  0813 2708 7784 (Ariatama)

Mendemokratisasikan Pikiran, Mengendalikan Lisan

Sumber gambar: https://www.merdeka.com/peristiwa/puisi-ibu-indonesia-sukmawati-soekarnoputri-berujung-laporan-ke-polisi.html

Baru-baru ini, Sukmawati Soekarno Putri menjadi viral di linimasa media sosial lantaran puisinya berjudul ‘Ibu Indonesia’ yang dianggap menyinggung ajaran Islam. Beberapa pihak lainnya menilai, apa yang dilakukan Sukmawati bukan bermaksud menista, melainkan semata-mata ekspresi perasaan subjektif pengarang. 

Meskipun ekspresi subjektif merupakan asasi dan bagian dari kemerdekaan berpikir, namun demikian, kita hidup bukan sekadar menjadi individu dari kerumunan. Bagaimanapun ada common value yang membuat benar atau salahnya setiap tindakan menjadi tergantung pada konteksnya. 

Sebagaimana peribahasa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.  Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas, rasanya perlu mengulik sedikit bagaimana demokrasi dalam imajinasi kebangsaan. Terutama, dalam kaitannya dengan sebab mengapa agama menjadi begitu penting dalam ruang publik Indonesia.

Harus dipahami bahwa demokrasi Indonesia memiliki jalur historis yang sama sekali berbeda dengan demokrasi Barat. Di Barat, demokrasi lahir untuk merespons kekuasaan teokratis yang dianggap membatasi hak-hak sipil dan politik warga negara. Hal inilah yang kemudian menjadi asal usul munculnya paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara.

Sementara di Indonesia sebaliknya, demokrasi lahir bukan untuk merevisi kekuasaan teokratik. Gagasan demokrasi diprakarsai para cendekiawan yang duduk bersama menyulam lima dasar berbangsa dan bernegara, yang lantas kita kenal sebagai Pancasila. Dalam Pancasila, terkandung dasar pemikiran tentang pentingnya nilai-nilai religiusitas dalam membangun nasionalisme. 

Ini telah menjadikan segala urusan kenegaraan, baik itu, politik, ekonomi, pembangunan dan sebagainya harus bersandar pada prinsip-prinsip nilai Ketuhanan sebagai yang utama. Lalu diikuti dengan kemanusiaan (humanity), persatuan (unity), demokrasi berbasis kemusyawaratan (democracy deliberatives), dan terakhir, keadilan sosial (social justice).

Para pendiri bangsa menyadari pentingnya nilai-nilai agama sebagai bagian dari pembentuk karakter bangsa yang korporatif, tidak melulu bersifat dogmatis, apalagi agitatif.  Perihal ini juga pernah ditulis Jürgen Habermas, sosiolog asal Jerman dalam bukunya, Ein Bewußtsein von dem was fehlt: “di dalam demokrasi, suara hati umat beragama dapat menjadi kekuatan kritis terhadap kekuasaan tiranis dan ketidakadilan sosial. Sebagaimana dipraktikan oleh civil right movement yang dipimpin pendeta Marthin Luther King Jr di AS, gerakan Solidarność di Polandia, dan people power movement di Filipina. Bukti itu menerangkan bahwa bagaimanapun pemerintahan demokratis membutuhkan legitimasi dari para warganya yang beriman” (Hadirman, 2015: 19).

Kendatipun begitu, tetap ada hal yang juga perlu diperhatikan sebagai konsekuensi logis dari menyatunya antara agama dan negara, apalagi dalam negara heterogen. Contohnya adalah sulitnya menyatukan penalaran keyakinan yang berbeda-beda ke dalam kesepakatan tunggal tentang kenegaraan. Maka dari itu, wujud kebebasan yang diberikan pada setiap orang-orang Indonesia harus dilekatkan tanggung jawab moral untuk menjunjung keyakinan sesamanya. Ini dimaksudkan agar demokrasi yang berlangsung dapat tetap berkolaborasi dengan nilai-nilai yang ada ditengah-tengah masyarakat, demi menjaga keberlangsungan kebinekaan yang kita idam-idamkan. 

Perkara tanggung jawab moral inilah yang semestinya menjadi dasar-dasar etika berperilaku: meskipun tidak ada batasan bagi seseorang orang berpikir, namun demikian ketika berada dalam ruang publik, kebijaksanaan seseorang akan diuji dengan kemampuannya untuk menempatkan diri. Mengingat sepandai-pandainya orang, ia dapat saja keliru. Akan tetapi, realitanya hanya sedikit saja orang yang menganggap perlu untuk mengambil tindakan untuk mencegah kekeliruan mereka (Mill, 2006). 

Ihwal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah mungkin seorang Sukmawati Soekarno Putri tidak mengetahui konsekuensi yang akan diterimanya sebelum membacakan puisi tersebut? Rasanya tidak. Kalau begitu, lantas mengapa beliau tetap membacakan puisi kontroversialnya di hadapan publik? Apalagi kita mengetahui tahun lalu, mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, baru saja tersangkut kasus penistaan agama akibat pidatonya yang dianggap melecehkan QS Al-Maidah: 51. 

Pengalaman Sukmawati ini barangkali cukup menjadi suatu pelajaran bahwa mendemokratisasi pikiran itu boleh, tapi mengendalikan lisan itu kewajiban.  Terutama bagi para pejabat dan aparatus pemerintahan, penghormatan atas nilai-nilai yang berada di dalam masyarakat harus menjadi yang utama dalam melayani masyarakat. Mengingat pemerintah bukanlah realitas yang terpisah dari masyarakat. Pemerintah adalah perwujudan diri masyarakat ke level yang lebih tinggi.

Bagi kita bangsa yang plural, anugerah kebebasan yang baru genap berumur 20 tahun semestinya dapat menjadi ruang-ruang dialog untuk memperjuangkan yang baik, sekaligus menguatkan imunitas persatuan bangsa. Bukan membuat individu menjadi gangguan untuk individu lain, apalagi sampai mempertajam friksi keberagaman  dan memantik konflik horizontal. 

TAUCHID KOMARA YUDA

associate researcher of Institute for Democracy and Welfarerism

*) Sumber: Opini Republika 6 April 2018

Strategic Forum IDW “Pengelolaan Keuangan Negara”

 

Bulan Maret ini, Strategic Forum  IDW menyelenggarakan diskusi rutin dengan tema “Pengelolaan Keuangan Negara”. Forum dipantik oleh saudara Nuur Widiastono S.E., M.S.E, Ak. , CA, CFE salah satu pengurus Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) chapter Indonesia.  Forum ini diikuti oleh para akademisi dari daerah sekitar Yogyakarta.

Forum membahas mengenai pentingnya pengelolaan keuangan negara dengan komprehensif. Pembicara juga menjelaskan dalam pengelolaan keuangan tidak hanya perhitungan secara matematis dan kuantitatif yang dilihat. Namun, unsur komunikasi dan latar belakang penganggaran juga penting untuk diperhatikan. Selain itu, pembicara juga menjelaskan bagaimana kompleksnya suatu audit dan aset dari keuangan negara.

Diharapkan dengan diselenggarakan forum kajian ini, dapat memberikan pemahaman bahwa pengaturan dan pengelolaan keuangan negara sangat berperan penting bagi kemajuan kesejahteraan suatu negara.

 

 

Tim Peneliti

  • Tauchid Komara Yuda, S.Sos., MDP
  • Sigit Pamungkas, MA
  • Wawan Mas’udi, Ph.D
  • Ahmad Sabiq, MA
  • Retna Susanti, SH
  • Hakimul Ikhwan, M.A., Ph.D.